Penulis: Gracia Ilma Supit, S.I.K
MANADO, Infonawacita.com – Demokrasi sejatinya adalah partisipasi dan kesetaraan, menunjukkan secara tegas bahwa perempuan mesti hadir dan berperan yang tidak hanya dalam posisi sebagai pemilih tetapi juga terlibat sebagai Penyelenggara Pemilu.
Berangkat dari persoalan tersebut menjadi penting untuk melakukan beberapa perubahan pada level peraturan maupun implementasi demi menjamin hak konstitusional perempuan menjadi penyelenggara pemilu.
Partisipasi politik perempuan dalam negara demokrasi merupakan keniscayaan. Di tengah mekanisme pengisian jabatan publik yang menitikberatkan pada partisipasi dan transparansi, perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan tidak dapat dijadikan alasan untuk membedakan kedudukan atau pun hak yang sama bagi keduanya untuk ikut bepartisipasi aktif dalam tata kelola pemerintahan.
Lebih jauh, suatu negara tidak dapat dipertimbangkan sebagai negara dengan sistem politik demokrasi sepenuhnya jika tidak melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan (women marginalized).
Angka keterwakilan perempuan di KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi masih jauh dari harapan. Sekalipun terdapat beberapa provinsi yang mampu memenuhi angka minimal 30% perempuan, namun faktanya masih banyak anggota KPU Provinsi atau Bawaslu Provinsi perempuan hanya satu orang bahkan terdapat juga provinsi yang tidak ada keterwakilan perempuan.
Jika dipetakan paling tidak terdapat tiga aspek yang dapat memicu tinggi atau rendahnya angka keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu.
Pertama, dimensi regulasi afirmasi yang setengah hati.
Kata “memperhatikan” tidak memiliki kekuatan yang cukup signifikan dalam mendorong kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.
Ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan 30% ini sering kali dimaknai sebatas formalitas semata yang bersifat sukarela. Pada sisi lain, ketentuan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan ini tidak dilakukan secara linier di setiap tahapan seleksi.