INFONAWACITA.COM, JAKARTA – Komponis dan pianis Ananda Sukarlan persembahkan World Premiere karya barunya yang menjadi bagian dari seri “I Wish” di depan David Hurley, Governor – General of the Commonwealth of Australia serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto hari Rabu, 15 Mei lalu di Ballroom Raffles Hotel di bilangan Kuningan, Jakarta.
Acara tersebut juga dihadiri sejumlah tokoh seperti Yenny Wahid, jurnalis Najwa Shihab, Chairul Tanjung, Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesoedibjo, Direktur Diplomasi Publik Kemenlu Ani Nigeriawati, Duta Besar Australia untuk Indonesia Penny Williams, dan Duta Besar Indonesia untuk Australia Siswo Pramono.
Karya yang dimaksud berjudul “I Wish Matilda Had Waltzed to Minang” yang dimainkan oleh sang komponis yang juga disebut sebagai “one of the world’s leading pianists at the forefront of championing new piano music” oleh harian Australia Sydney Morning Herald dalam Konser Gala sebelum Jamuan Makan Malam Australian Alumni Award 2024.
Di acara tersebut, sang Gubernur Jenderal (perwakilan dari Raja Inggris Charles III di Australia) menyerahkan penghargaan kepada alumni Australia terbaik 2004 yaitu Meutya Hafid, Ketua Komisi I yang mencakup bidang Luar Negeri, Pertahanan, Komunikasi dan Informasi. Meutya sebelumnya bekerja sebagai jurnalis dan penyiar televisi yang sukses. Ia meraih gelar Sarjana Teknik Manufaktur dari University of New South Wales. Selain itu penghargaan juga diterima oleh Alvin Sariaatmadja (Inovasi dan Kewirausahaan) dan Fandy Dawenan (Pemberdayaan Perempuan dan Inklusi Sosial).
Setelah karya piano solo itu Ananda Sukarlan didampingi tiga musikus muda pilihannya, yaitu Isabelle Sharon – biola, Chris Chandra – viola (biola alto) dan Fariz Triandy – cello. Mereka memainkan karyanya “Fantasy on Cornel Simanjuntak’s ‘Tanah Tumpah Darahku'” untuk piano quartet.
Dalam konser berdurasi setengah jam itu Ananda juga memainkan karya Betty Beath, komponis Australia kelahiran 1932 yang ditulis khusus untuk Ananda pada tahun 2003 berjudul “Bali Yearning” (Merindu Bali). Di beberapa bagian karya unik ini menggunakan melodi pentatonik khas Bali.
Karya ini adalah ungkapan kesedihan Betty Beath yang pernah tinggal di Bali bahkan sempat belajar bahasa Indonesia, setelah mendengar kabar bom Bali 12 Oktober 2002. Sang komponis perempuan asal Brisbane, Queensland saat itu langsung menghubungi Ananda dan menyatakan kesedihannya dari lubuk hati yang paling dalam yang ingin ia ekspresikan melalui musik. Fariz Triandy dan Isabelle Sharon juga memainkan sebuah duo pendek dan jenaka Ananda untuk biola dan cello, “Passacaglia on Soleram”.
Infonawacita.com sempat mewawancarai sang maestro yang telah menerima Anugerah tertinggi dari dua negara Eropa ini, dari Italia dan tahun lalu adalah Real Orden Isabel la Catolica dari Kerajaan Spanyol.
Berikut hasil perbincangan dengan Ananda Sukarlan (A.S.)
Apa yang ingin anda sampaikan melalui karya-karya anda yang selalu judulnya dimulai dengan “I Wish…”?
Sebagai penyandang Asperger’s Syndrome, yang “efek samping”nya adalah synesthesia, saya suka mendengarkan dua lagu secara bersamaan. Dulu saat belum ada YouTube cukup sulit, karena saya hanya memiliki satu sound system di rumah, tapi dengan adanya YouTube, saya cukup membuka dua jendela di komputer, dan menyalakan dua lagu tersebut secara bersamaan.
Nah, setiap lagu kan memiliki motif, melodi dan harmoni tersendiri. Motif biasanya terdiri dari 3 atau 4 not saja. Pengembangan dari motif itulah yang menjadi melodi. Nah, banyak sekali melodi yang memiliki motif yang sama, misalnya 3 not pertama lagu kebangsaan Finlandia “Maamme” dan “Tanah Airku”-nya Ibu Soed (Saridjah Niung).
Dua lagu ini saya gabungkan dalam karya baru saya “Findolandesia” yang akan menjadi ikon persahabatan Finlandia – Indonesia tahun ini, merayakan 70 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Gabungan dari elemen-elemen tersebut menghasilkan warna-warna baru yang masih terdengar agak aneh mungkin buat pendengar awam, tapi sangat menantang buat saya untuk menggabungkannya.
Prosesnya mungkin sama dengan seorang chef yang menggabungkan berbagai rasa yang kemudian menghasilkan rasa yang baru, dan bukan sekedar “tambal sulam” dari dua elemen.
Sinestesia dalam kasus saya adalah bahwa saya mendengar bunyi dari bentuk dan warna yang terlihat oleh mata saya. Bukan sebaliknya: kalau saya mendengar musik, akord, harmoni, melodi, saya tidak bisa “memvisualisasi”nya.
Makanya saya selalu heran kalau ada yang bilang “wah dengar musik Ananda yang ini saya langsung membayangkan berada di lapangan rumput yang hijau” atau sejenisnya. Buat saya, akord D mayor ya akord D mayor, bukan gunung, salju, atau donat dengan topping coklat.
Ada berapa karya “I Wish…” dengan konsep ini?
Sebetulnya sampai saat ini hanya ada dua dengan judul tersebut. Yang saya mainkan di acara Australian Alumni Awards kemarin adalah “I Wish Matilda Had Waltzed to Minang”.
Satunya lagi adalah “I Wish Pavarotti Had Met Marzuki” dimana saya menggabungkan aria Nessun Dorma karya Giacomo Puccini dengan Melati Di Tapal Batas karya Ismail Marzuki. Karya itu saya tulis untuk konser memperingati tenor Italia, Luciano Pavarotti di Jakarta tahun 2017 yang dihadiri oleh janda sang tenor, Nicoletta Mantovani.
Karya tersebut kini sudah dimainkan beberapa pianis lain, terutama pianis Italia yang jadinya mengenal musiknya Ismail Marzuki hehehe ….. Kebetulan juga baik Luciano Pavarotti maupun saya telah menerima anugerah tertinggi Italia sebagai Cavaliere (Gelar Kesatriaan), beliau di tahun 1988 dengan gelar Cavaliere di Gran Croce Ordine al Merito, dan saya tahun 2020 dengan gelar Cavaliere Ordine della Stella (saat itu saya menerimanya dari Presiden Sergio Mattarella).
Tapi banyak karya saya lainnya menggunakan konsep ini. Yang cukup ekstrim adalah “Amelia thinks Classical Music is Boring” dimana saya menggabungkan “Fur Elise” (Beethoven), La Campanella (Franz Liszt) dan “O Amelia” (A.T. Mahmud). Kemudian di banyak Rapsodia Nusantara saya menggabungkan dua lagu tradisi dari propinsi yang sama.
Apakah “Passacaglia on Soleram” yang dimainkan oleh Isabelle Sharon dan Fariz Triandy di Gala Concert dan Jamuan Makan Malam Australian Alumni Award kemarin juga memiliki konsep yang sama?
Nah ini agak berbeda. Di sini, lagu “Soleram” dimainkan berulangkali oleh cello (sampai bosan mungkin ya? Tapi di ujung lagu ini dia malah “menggila” dan memainkan sesuatu yang virtuosik kok), dan si pemain biola memainkan berbagai macam melodi di atasnya — dari tema Canon Pachelbel sampai motif-nya Star Trek yang asli — yang dicipta oleh Alexander Courage tahun 1960-an, bukan yang baru– di atasnya, di mana pendengar bahkan di tengah lagu tersebut bisa lupa bahwa “Soleram” tetap berjalan terus.
Secara spesifik, apa yang anda ingin sampaikan dengan “I Wish Matilda Had Waltzed to Minang”?
Hahaha … ada dua versi, versi “nakal” dan versi “diplomatik”nya. Karya ini saya ciptakan sekitar tahun 2017 dan tentu saja ide aslinya ya “nakal”. Dengan menjalin dua melodi asal Australia dan Minangkabau, Waltzing Matilda dan Kampuang Nan Jauh di Mato, bayangannya si Matilda menjalin hubungan dengan orang Minang. Pacaran dengan cowok Minang? Eh bukan saya yang bilang loh.
Tergantung interpretasi pendengar saja. Nah, versi diplomatik, dan “intelek”nya adalah hubungan kian erat antara Australia dan suku Minang yang mewakili bangsa Indonesia, gituuuu.
Kedua lagu yang saya persatukan dan saya bikin variasinya di karya ini adalah lagu favorit saya, keduanya lagu yang sedih. Mungkin suasana hati saya saja saat itu … dan memang karya ini bernuansa sedih, walaupun virtuositasnya cukup tinggi.
Bisa kasih bocoran konser Ananda Sukarlan serta karya-karya baru berikutnya?
Juni nanti saya akan perdanakan karya baru saya untuk biola dan piano, “Findolandesia” yang saya sudah sebut di atas. Ini saya mainkan dua kali, di Dharmawangsa Hotel, Jakarta bersama pemain biola muda Aurell Marcella (lulusan Australian Institut of Music, Sydney dan anggota G20 Orchestra), dan kemudian di Helsinki (Finlandia) bulan September dengan pemain biola dari Finlandia.
Di konser ini saya juga akan membawakan beberapa Tembang Puitik saya berdasarkan puisi-puisi Sofyan RH. Zaid, Budhi Setyawan, Dedy Tri Riyadi, Eka Budianta dan S. Prasetyo Utomo, dinyanyikan oleh soprano muda Cindy Tannos.
Sayangnya konser ini hanya untuk undangan terutama relasi diplomatik, budaya dan bisnis Kedutaan Besar Finlandia.
Yang untuk umum adalah tanggal 4 Juli nanti di Aula Simfonia Jakarta, dimana para pemain instrumen gesek Melbourne Symphony Orchestra akan mengunjungi Jakarta.
Saya menulis karya baru, “Two Australian Poems” untuk soprano dan orkes gesek yang akan dinyanyikan oleh Mariska Setiawan, dari puisi Judith Wright dan Henry Lawson.
Saya juga akan memainkan karya saya untuk piano dan instrumen gesek, serta beberapa tembang puitik dari puisi Mustari Irawan, Okky Madasari, Julia Utami dan sebuah aria dari opera saya “I’m Not For Sale” dari libretto oleh Emi Suy.
Opera ini mengisahkan tokoh keturunan Cina di Batavia, Auw Tjoei Lan di awal abad 20, dan Mariska Setiawan akan berperan sebagai tokoh pahlawan perempuan ini. Walaupun tanggal 4 Juli adalah Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, ini acara merayakan 75 tahun hubungan diplomatik Australia – Indonesia, loh! Datang ya, teman-teman.